MAKALAH
PSIKOLOGI PENDIDIKAN
“KESULITAN BELAJAR”
Dosen
Pengampu:
Disusun Oleh kelompok 7
Nama :
1. Nia
Rosinta Dewi
(1290455)
2. Nur
Ikvan
(1290515)
3. Susmi
Yuliana Sari (1290765)
Prodi / Kelas:
PGMI / A
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGRI
(STAIN) JURAI SIWO
METRO
2012/2013
A. Kesulitan Belajar
1.
Pengertian kesulitan
Kesulitan adalah keadaan yang sulit, dalam
kesulitan dan dalam kesusahan. Dalam hal ini, berarti kesulitan mengandung
makna sulit berbuat sesuatu yang berarti suatu kondisi yang memperlihatkan
ciri-ciri hambatan dalam kegiatan untuk mencapai suatu kegiatan, dimana
kesulitan yang dimaksud dalam kajian ini adalah kesulitan belajar yang berarti
kesulitan tersebut kepada aktivitas belajar.[1]
Hal ini sesuai dengan pernyataan Ambo Enre
Abdullah (Fitri,2005 :7) adalah: Kesulitan adalah suatu kondisi tertentu yang
ditandai adanya hambatan-hambatan dalam mencapai tujuan, sehingga memerlukan
usaha yang lebih keras untuk mengatakannya.
2.
Pengertian Belajar
Berikut ini dikemukakan
beberapa definisi mengenai belajar, diantaranya:
a.
Selanjutnya Moh.Uzer Usman dan Lilis
Setiawati mengartikan “belajar sebagai perubahan tingkah laku pada diri
individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu
dengan lingkungan sehingga mereka lebih mampu berinteraksi dengan lingkungannya”.[2]
b.
Nana Sudjana mengatakan “belajar adalah
proses yang aktif, belajar adalah mereaksi terhadap semua situasi yang ada di
sekitar individu. Belajar adalah proses yang diarahkan kepada tujuan, proses
berbuat melalui berbagai pengalaman. Belajar adalah proses melihat, mengamati,
memahami sesuatu”.[3]
Dari beberapa pengertian belajar yang telah
dikemukakan oleh para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu perubahan tingkah laku individu dari hasil
pengalaman dan latihan. Perubahan tingkah laku tersebut, baik dalam aspek pengetahuannya (kognitif), keterampilannya (psikomotor),
maupun sikapnya (afektif).
3.
Kesulitan belajar
Definisi kesulitan beajar menurut para ahli:
a.
Kesulitan belajar menurut Hammil
(Abidin,2006:10) adalah: “menunjuk pada sekelompok kesulitan yang
memanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan
penggunaan kemampuan mendengar, mencakup-cakup,membaca, menulis, menalar, atau
kemampuan dalam bidang studi tertentu.
b.
Kesulitan belajar menurut Warkitri ddk.
(1990:8.3), menyatakan bahwa kesulitan belajar adalah terdapatnya suatu jarak
antara prestasi akademik yang diharapkan dengan prestasi akademik yang
diperoleh.
c.
Sementara itu Siti Mardiyanti dkk. (1994
:4-5) menganggap kesulitan belajar sebagai suatu kondisi dalam proses belajar
yang ditandai oleh adanya hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar. [4]
Setiap individu memang tidak ada yang sama.
Perbedaan individual ini pulalah yang menyebabkan perbedaan tingkah laku
belajar dikalangan anak didik. “Dalam keadaan di mana anak didik / siswa tidak
dapat belajar sebagaimana mestinya, itulah yang disebut dengan “kesulitan
belajar”.
Macam-macam kesulitan belajar ini dapat
dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu sebagai berikut.
a.
Dilihat dari jenis kesulitan belajar.
1)
Ada yang berat,
2)
Ada yang sedang,
b.
Dilihat dari bidang studi yang di pelajari.
1)
Ada yang sebagian bidang studi, dan
2)
Ada yang keseluruhan bidang studi.
c.
Dilihat dari sifat kesulitannya.
1)
Ada yang sifatnya permanen / menetap, dan
2)
Ada yang sifatnya hanya sementara.
d.
Dilihat dari segi faktor penyebabnya.
1)
Ada yang karena faktor intelegensi, dan
2)
Ada yang karena faktor non-intelegensi.[5]
4.
Faktor-faktor penyebab kesulitan belajar.
Fenomena kesulitan belajar seorang siswa
biasanya tampak jelas dari menurunnya kinerja akademik atau prestasi
belajarnya. Namun, kesulitan belajar juga dapat di buktikan dengan munculnya
kelainan perilaku (misbehavior) siswa
seperti kesukaan berteriak-teriak didalam kelas, mengusik teman, berkelahi,
sering tidak masuk sekolah, dan sering minggat dari sekolah.
Secara garis besar, faktor-faktor penyebab
timbulnya kesulitan belajar terdiri atas dua macam, yakni:
a.
Faktor intern siswa, yakni hal-hal atau
keadaan-keadaan yang muncul dari dalam diri siswa sendiri meliputi:
1)
Faktor fisiologis.
2)
Faktor psikologis.
b.
Faktor ekstern siswa, yakni hal-hal atau
keadaan-keadaan yang datang dari luar diri siswa meliputi:
1)
Faktor-faktor non-sosial.
2)
Faktor-faktor sosial.[6]
Kedua faktor ini meliputi aneka ragam hal dan
keadaan yang antara lain tersebut di bawah ini.
a.
Faktor intern siswa
Faktor intern siswa meliputi gangguan atau kekurang mampuan psiko-fisik
siswa, yakni:
1)
Sebab yang bersifat fisik:
a)
Karena sakit
Seorang yang sakit akan mengalami kelemahan fisiknya, sehingga saraf
sensoris dan motorisnya lemah. Akibatnya rangsangan yang diterima melalui
inderanya tidak dapat diteruskan ke otak. Lebih-lebih sakitnya lama, sarafnya
akan bertambah lemah, sehingga ia tidak dapat masuk sekolah untuk beberapa
hari, yang mengakibatkan ia tertinggal jauh dalam pelajaran.
b)
Karena kurang sehat
Anak yang kurang sehat dapat mengalami kesulitan belajar, sebab ia mudah
capek, mengantuk, pusing, daya konsentrasinya hilang kurang semangat, pikiran
terganggu. Karena hal-hal ini maka penerimaan dan respons pelajaran berkurang,
saraf otak tidak mampu bekerja secara optimal memproses, mengelola,
menginterprestasi dan mengorganisasi bahan pelajaran melalui indranya.
c)
Sebab karena cacat tubuh
Cacat tubuh dibedakan atas:
·
Cacat tubuh yang ringan seperti kurang
pendengaran, kurang penglihatan, gangguan psikomotor.
·
Cacat tubuh yang tetap seperti buta, tuli,
bisu hilang tangannya dan kakinya.
2)
Sebab–sebab kesulitan belajar karena rohani.
Belajar memerlukan kesiapan rohani, ketenangan dengan baik. Jika hal-hal
di atas ada pada diri anak maka belajar sulit dapat masuk.
Apa bila dirinci faktor rohani itu meliputi antara lain berikut ini.
a)
Intelegensi
b)
Bakat
c)
Minat
d)
Motivasi
e)
Faktor kesehatan mental
f)
Tipe-tipe khusus seorang pelajar (visual,
motoris, dan campuran).[7]
b.
Faktor ekstern siswa
Faktor ekstern siswa meliputi semua situasi
dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktivitas belajar siswa.
Faktor lingkungan ini meliputi:
1)
Lingkungan keluarga, contohnya:
ketidakharmonisan hubunga antara ayah dengan ibu, dan rendahnya kehidupan
ekonomi keluarga.
2)
Lingkungan perkampungan / masyrakat,
contohnya : wilayah perkampungan kumuh (slum area), dan teman sepermainan (peer
group) yang nakal.
3)
Lingkungan sekolah, contohnya: kondisi dan
letak gedung sekolah yang buruk seperti dekat pasar, kondisi guru dan alat-alat
belajar yang berkualitas rendah.[8]
B. Jenis-jenis kesulitan belajar.
1. Learning disability
Diantara faktor-faktor yang dapat dipandang
sebagai faktor khusus ini ialah sindrom psikologis berupa learning disability (ketidakmampuan belajar). Sindrom (syndrome) yang berarti satuan gejala
yang muncul sebagai indikator adanya keabnormalan psikis (Reber,1998) yang
menimbulkan kesulitan belajar itu terdiri atas:
a.
Disleksia (dyslexia) yakni ketidak mampuan belajar membaca.
Membaca merupakan aktivitas audiovisual untuk
memperoleh makna dari symbol berupa huruf atau kata. Aktivitas ini meliputi dua
proses, yakni proses decording, juga dikenal dengan istilah membaca teknis, dan
proses pemahaman. Membaca teknis adalah proses pemahaman atas hubungan antar
huruf dan bunyi atau menerjemaahkan kata-kata tercetak menjadi bahasa lisan
atau sejenisnya.
Berdasarkan hasil penelitian di negara maju,
lebih dari 10% murid sekolah mengalami kesulitan membaca. Kesulitan membaca ini
menjadi penyebab utama kegagalan anak di sekolah. Hal ini dapat dipahami,
karena membaca merupakan salah satu bidang akademik dasar, selain menulis dan
menghitung. Kesulitan membaca juga menyebabkan anak merasa rendah diri, untuk
termotivasi belajar, dan sering juga mengakibatkan timbulnya perilaku
menyimpang pada anak. Hal ini terjadi karena dalam masyarakat yang semakin
maju, kemampuan membaca merupakan kebutuhan, karena sebagian informasi
disajikan dalam bentuk tertulis dan hanya dapat diperoleh melalui membaca. Kesulitan
belajar membaca sering disebut disleksia. Kesulitan belajar membaca yang berat
disebut aleksia. Kemampuan membaca tidak hanya merupakan dasar untuk menguasai
berbagai bidang akademik, tetapi juga untuk meningkatkan keterampilan kerja dan
memungkinkan orang untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat secara
bersama. Ada dua jenis pelajaran membaca, yaitu membaca permulaan atau membaca
lisan, dan membaca pemahaman. Mengingat pentingnya kemampuan membca bagi
kehidupan, kesulitan belajar membaca hendaknya ditangani sedini mungkin. Ada
dua tipe disleksia, yaitu disleksia auditoris dan disleksia visual.
Anak yang memiliki keterlambatan kemampuan membaca,
mengalami kesulitan dalam mengartikan atau mengenali struktur kata-kata
(misalnya huruf atau suara yang seharusnya tidak diucapkan, sisipan,
penggantian atau kebalikan) atau memahaminya (misalnya, memahami fakta-fakta
dasar, gagasan, utama, urutan peristiwa, atau topik sebuah bacaan). Mereka juga
mengalami kesulitan lain seperti cepat melupakan apa yang telah dibacanya.
Sebagian ahli berargumen bahwa kesulitan mengenali bunyi-bunyi bahasa (fonem)
merupakan dasar bagi keterlambatan kemampuan membaca, dimana kemampuan ini
penting sekali bagi pemahaman hubungan antara bunyi bahasa dan tulisan yang
mewakilinya.[9]
b.
Disgrafia (dysgraphia) yakni ketidakmampuan belajar menulis.
Kesulitan belajar menulis disebut juga
sisgrafia, kesulitan belajar menulis yang berat disebut arafia. Ada tiga jenis
pelajaran menulis, yaitu menulis permulaan, mengeja atau dikte, dan menulis
ekspresif. Kegunaan kemampuan menulis bagi seorang siswa adalah untuk menyalin,
mencatat, dan mengerjakan sebagian besar tugas sekolah. Oleh karena itu,
kesulitan belajar menulis hendaknya dideteksi dan ditangani sejak dini agar
tidak menimbulkan kesulitan bagi anak dalam mempelajari berbagai mata pelajaran
yang diajarkan di sekolah.
Tujuan utama pengajaran menulis adalah
keterbacaan. Untuk dapat mengkomunikasikan pikiran dalam bentuk tertulis,
pertama-tama anak harus dapat menulis dengan mudah dan dapat membaca. Oleh
karena itu pengajaran menulis pada tahap awal difokuskan pada cara memegang
alat tulis dengan benar, menulis huruf balok dan huruf bersambung dengan benar,
dan menjaga jarak dan proporsi huruf secara benar dan konsisten.
Kesulitan menulis yang dialami anak dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya gangguan motorik, gangguan emosi,
gangguan persepsi visual, atau gangguan
ingatan. Gangguan gerak halus dapat menganggu keterampilan menulis, misalnya
seorang anak mungkin mengerti ejaan suatu kata, tetapi ia tidak dapat menulis
secara jelas atau mengikuti kecepatan gurunya, hal ini dapat berakibat pada
penguasaan bidang studi akademik lain.
c.
Diskalkulia (dyscalculia) yakni ketidakmampuan belajar matematika.
Berhitung adalah salah satu cabang
matematika, ilmu hitung adalah suatu bahasa yang digunakan untuk menjelaskan
hubungan antara berbagai proyek, kejadian, dan waktu. Ada orang yang
beranggapan bahwa berhitung sama dengan matematika. Anggapan semacam ini tidak
sepenuhnya keliru karena hampir semua cabang matematika yang menurut Moris
kline (1981) berjumlah delapan puluh cabang besar selalu ada berhitung.
Kesulitan belajar berhitung disebut juga diskalkulia. Kesulitan
belajar berhitung yang berat disebutakalkulia. Ada tiga elemen
pelajaran berhitung yang harus dikuasai oleh anak. Ketiga elemen tersebut
adalah konsep, komputasi, dan pemecahan masalah. Seperti halnya bahasa,
berhitung yang merupakan bagian dari matematika adalah sarana berpikir
keilmuan. Oleh karena itu, seperti halnya kesulitan belajar bahasa, kesulitan
berhitung hendaknya dideteksi dan ditangani sejak dini agar tidak menimbulkan
kesulitan bagi anak dalam mempelajari berbagai mata pelajaran yang diajarkan di
sekolah.
Kesulitan belajar berhitung merupakan jenis kesulitan belajar
terbanyak disamping membaca. Padahal seperti halnya keterampilan membaca,
keterampilan menghitung merupakan sarana yang sangat penting untuk menguasai
bidang studi lainnya.[10]
Namun demikian, siswa yang mengalami
sindrom-sindrom di atas secara umum sebenarnya memiliki potensi IQ yang normal
bahkan di antaranya ada yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Oleh
karenanya, kesulitan belajar siswa yang menderita sindrom-sindrom tadi mungkin
hanya disebabkan oleh adanya minmal brain
dysfunction, yaitu gangguan ringan pada otak (Lask,1985 : Reber 1988).
1)
Ciri-ciri learning disabilities:
a)
Sering melakukan kesalahan yang konsisten dalam
mengeja dan membaca.
b)
Lambat dalam mempelajari hubungan antara huruf dengan
bunyi pengucaannya.
c)
Sulit dalam mempelajari keterampilan baru, terutama
yang membutuhkan daya ingat.
d)
Implusif yaitu bertindak tanpa difikir dahulu.
e)
Sulit berkosentrasi.
2)
Penyebab learning disabilities
a)
Faktor keturunan (genetik) dan gangguan koordinasi
pada otak.
b)
Kira-kira 14 area di otak berfungsi saat membaca,
ketidakmampuan dalam belajar disebabkan karena ada gangguan diarea otaknya.
2. Under achiever
Rimm (dalam Del Siegle & McCoah,2008)
menyatakan ketika siswa tidak menampilkan potensinya, maka ia termasuk
underachiever. Semiawan (1997: 209) menyebutkan”underachievement adalah
kinerja yang secara signifikan berada di bawah potensinya”. Makmun (2001:
274) juga mengungkapkan bahwa yang dimaksud ”underachiever adalah
mereka yang prestasinya ternyata lebih rendah dari apa yang diperkirakan
berdasar hasil tes kemampuan belajarnya”.
a.
Ciri-ciri under achiever:
1)
Prestasi tidak
konsisten: kadang bagus, kadang tidak.
2)
Tidak menyelesaikan
pekerjaan rumah (PR).
3)
Rendah diri.
4)
Takut gagal (atau
sukses).
5)
Takut menghadapi
ulangan.
6)
Tidak punya
inisiatif.
7)
Malas, bahkan
depresi.
b.
Penyebab under achiever
Penyebab underachiever, Butler-Por (dalam
oxfordbrooks.ac.uk,2006) menyatakan bahwa underachievement bukan disebabkan
karena ketidakmampuan untuk melakukan suatu dengan lebih baik,tetapi karena
pilihan-pilihan yang dilakukan dengan sadar atau tidak sadar.
3. Slow leaner
Pengertian slow leaner menurut para ahli :
a.
Chaplin,( 2005 : 468)
Slow learning yaitu suatu istilah nonteknis yang
dengan berbagai cara dikenakan pada anak-anak yang sedikit terbelakang secara
mental, atau yang berkembang lebih lambat daripada kecepatan normal.
b.
Burton, (dalam
Sudrajat;2008)
Slow learning adalah anak dengan tingkat
penguasaan materi yang rendah, padahal materi tersebut merupakan prasyarat bagi
kelanjutan di pelajaran selanjutnya, sehingga mereka sering harus mengulang.
1)
Ciri-ciri slow
learning
Karakteristik dari individu yang mengalami slow
learning :
a)
Fungsi kemampuan di
bawah rata-rata pada umumnya.
b)
Memiliki kecanggungan
dalam kemampuan menjalin hubungan intrapersonal.
c)
Memiliki kesulitan
dalam melakukan perintah yang bertahap.
d)
Tidak memiliki tujuan
dalam menjalani kehidupannya
e)
Memiliki berbagai
kesulitan internal seperti; keterampilan mengorganisasikan, kesulitan transfer
belajar, dan menyimpulkan infromasi.
f)
Memiliki skor yang
rendah dengan konsisten dalam beberapa tes.
g)
Memiliki pandangan
mengenai dirinya yang buruk.
h)
Mengerjakan segalanya
secara lambat.
i)
Lambat dalam
penguasaan terhadap sesuatu.
2) Penyebab slow learning
a) Kemiskinan
Kemiskinan merupakan factor utama dari slow learning di negara berkembang. Kemiskinan menyababkan banyak kekurangan mental dan moral yang pada akhirnya mempengaruhi performa siswa. Seperti ungkapan “di badan yang sehat terdapat pikiran yang sehat”.
Kemiskinan merupakan factor utama dari slow learning di negara berkembang. Kemiskinan menyababkan banyak kekurangan mental dan moral yang pada akhirnya mempengaruhi performa siswa. Seperti ungkapan “di badan yang sehat terdapat pikiran yang sehat”.
b) Factor emosional
Semua anak pasti mengalami permasalahan emosional,
tetapi slow learner mengalami permasalahan yang serius dan untuk waktu yang
lama sehingga sangat mengganggu proses belajar mereka. Permasalahan emosional
ini berakibat pada prestasi akademis yang rendah, hubungan interpersonal yang
tidak baik, dan harga diri yang rendah. Bagian penting dalam perkembangan
personal, social dan emosional adalah konsep diri dan harga diri.
c) Factor pribadi
Factor pribadi meliputi kelainan bentuk fisik
(deformity), kondisi patologi/ penyakit badan, dan kekurangan penglihatan,
pendengaran dan percakapan dapat mengarah pada slow learning. Factor pribadi
juga meliputi penyakit yang lama atau ketidakhadiran di sekolah untuk waktu yan
lama ddan kurangnya kepercayaan diri. Ketika mereka lama tidak masuk sekolah
tentu saja mereka akan tertinggal dari teman mereka. Hal ini pada akhirnya
mempengaruhi kepercayaan diri mereka dan menciptakan kondisi yang mengarah pada
slow learning.
C.
Diagnosis Kesulitan Belajar
1. Pengertian
diagnosis kesulitan belajar
Diagnosis adalah keputusan atau penentu
mengenai hasil dari pengolahan data tentang siswa yang mengalami kesulitan
belajar dan jenis kesulitan yang dialami siswa.[11]
Sebelum menetakan alternatif pemecahan masalah kesulitan belajar siswa, guru
sangat dianjurkan untuk terlebih dahulu melakukan identifikasi (upaya mengenali
gejala dengan cermat) terhadap fenomena yang menunjukkan kemungkinan adanya
kesulitan belajar yang melanda siswa tersebut. Upaya seperti ini disebut
diagnosis yang bertujuan menetapkan “jenis penyakit” yakni jenis kesulitan belajar siswa. Dalam melakukan
diagnosis diperlukan adanya prosedur yang terdiri atas langkah-langkah tertentu
yang diorientasikan pada ditemukannya kesulitan belajar jenis tertentu yang
dialami siswa. Prosedur seperti ini dikenal sebagai “diagnostik” kesulitan
belajar.[12]
a. Langkah-langkah
diagnosis kesulitan belajar
Banyak langkah-langkah diagnostik yang dapat ditempuh guru, antara lain
yang cukup terkenal adalah prosedur Weener & Senf (1982) sebagaimana yang
dikutip Wardani (1991) sebagai berikut:
1) Melakukan
observasi kelas untuk melihat perilaku menyimpang siswa ketika mengikuti
pelajaran.
2) Memeriksa
penglihatan dan pendengaran siswa khususnya yang diduga mengalami kesulitan
belajar.
3) Mewawancarai
orangtua / wali siswa untuk mengetahui hal ihwal keluarga yang mungkin
menimbulkan kesulitan belajar.
4) Memberikan
tes diagnostik bidang kecakapan tertentu untuk mengetahui hakikat kesulitan
belajar yang dialami siswa.
5) Memberikan
tes kemampuan intelegensi (IQ) khususnya kepada siswa yang diduga mengalami
kesulitan belajar.[13]
Diagnosis ini dapat berupa hal-hal sebagai berikut:
1) Keputusan
mengenai jenis kesulitan belajar siswa.
2) Keputusan
mengenai faktor-faktor yang menjadi sumber sebab-sebab kesulitan belajar.
3) Keputusan
mengenai jenis mata pelajaran apa yang mengalami kesulitan belajar.[14]
Kegiatan diagnosis dapat dilakukan dengan cara:
1) Membandingkan
nilai prestasi individu untuk setiap mata pelajaran dengan rata-rata nilai
seluruh individu.
2) Membandingkan
prestasi dengan potensi yang dimiliki oleh siswa tersebut.
3) Membandingkan
nilai yang diperoleh dengan batas minimal tujuan yang diharapkan.
Secara umum langkah-langkah tersebut diatas
dapat dilakukan dengan mudah oleh guru kecuali langkah ke-5 (tes IQ). Untuk
keperluan tes IQ, guru dan orang tua siswa dapat berhubungan dengan klinik
psikologi. Dalam hal ini, yang perlu dicatat ialah apabila siswa yang mengalami
kesulitan belajar itu ber-IQ jauh dibawah normal (tuna grahita), orang tua
hendaknya mengirimkan siswa tersebut ke lembaga pendidikan khusus anak-anak
tuna grahita (sekolah luar biasa), karena lembaga/ sekolah biasa tidak
menyediakan tenaga pendidik dan kemudahan belajar khusu untuk anak-anak
abnormal. Selanjutnya, para siswa yang nyata-nyata menunjukkan misbehavior
berat seperti perilaku agresif yang berpotensi antisosial atau kecanduan
narkotika, harus diperlakukan secara khusus pula, umumnya dimasukkan ke lembaga
pemasyarakatan anak-anak atau ke “pesantren” khusus pecandu narkotika.
Adapun untuk mengatasi kesulitan belajar
siswa pengidap sindrom disleksia, disgafia, dan diskalkulia, sebagaimana yang
telah diuraikan, guru dan orang tua sangat dianjurkan untuk memanfaatkan
support teacher (guru pendukung). Guru khusus ini biasanya bertugas menangani
siswa pengidap sindrom-sindrom tadi disamping melakukan remedial teaching
(pengajaran perbaikan).
Dalam rangka diagnosis ini biasanya
diperlukan berbagai bantuan tenaga ahli, misalnya:
1)
Dokter, untuk mengetahui kesehatan anak.
2)
Psikolog, untuk mengetahui tingkat IQ anak.
3)
Psikiater, untuk mengetahui kejiwaan anak.
4)
Social worker, untuk mengetahui kelainan
sosial yang mungkin dialami anak.
5)
Ortopedagogik, untuk mengetahui
kelainan-kelainan yang ada pada anak.
6)
Guru kelas, untuk mengetahui perkembangan
belajar anak selama di sekolah.
7)
Orang tua anak, untuk mengetahui kebiasaan
anak dirumah.[15]
2.
Analisis hasil diagnosis kesulitan belajar
Data dan informasi yang diperoleh guru
melalui diagnostik kesulitan belajar tadi perlu dianalisis sedemikian rupa,
sehingga jenis kesulitan khusus yang dialami siswa yang berprestasi rendah itu
dapat diketahui secara pasti. Contoh : siti fulanah mengalami kesulitan khusus
dalam memahami konsep kata polisemi. Polisemi adalahsebuah istilah yang
menunjuk kata yang mimiliki dua makna atau lebih. Kata “turun”, umpamanya,
dapat dipakai dalam berbagai frase seperti turun tangga, turun ranjang, turun
tangan dan seterusnya. Contoh sebaliknya, kata “naik” yang juga dapat dipakai
dalam banyak frase seperti: naik daun, naik darah, naik banding, dan
sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Moh.
Uzer Usman dan Lilis Setiawati, Upaya Optimalisasi Kegiatan belajar
mengajar,
(Bandung:
PT.Remaja Rosdakarya, 2002), hal.4
Nana
Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Balai Pustaka,
1987),
Hal.28.
Drs.H.Abu
Ahmadi,widodo, Psikologi Belajar
(Jakarta:Rineka Cipta,2013).hal.77-78.
Muhibbin
Syah, Psikologi Belajar (Jakarta:
Rajawali Pers,2012)hal.185
Aunur
Rahman, Belajar dan Pembelajaran,
(Bandung: Alfabeta, 2012), hal.197
(Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2002), hal.4
Hal.28.
[5] Drs.H.Abu Ahmadi,widodo, Psikologi Belajar (Jakarta:Rineka
Cipta,2013).hal.77-78.
[7] Drs.H.Abu Ahmadi,widodo, Psikologi Belajar (Jakarta:Rineka
Cipta,2013).hal.78-79
[8] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar (Jakarta: Rajawali Pers,2012)hal.185
[11] Aunur Rahman, Belajar dan Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2012), hal.197
[12] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal.186-187
[13] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal.186-187
[14] Aunur Rahman, Belajar dan Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2012), hal.197-198
[15] Abu Ahmadi,dkk, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hal.98-99
thanks yah, hehehe sangat terbantu , hehehe mepet bnr nih waktu
BalasHapusSiap Bos... Semangat
Hapusmakasih banyak ya
BalasHapusYuhuuuu
Hapusterima kasih ya sangat membantu dalam menyelesaikan skripsi saya
BalasHapusSiap
Hapus