Kamis, 20 Februari 2014

Pengertian AS-Syajiah dan At-Taubah



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ajaran Islam adalah ajaran yang bersumber pada wahyu Allah, Al-Qur’an dalam penjabarannya terdapat pada hadis Nabi Muhammad SAW. Masalah akhlak dalam Islam mendapat  perhatian yang sangat besar. Berdasarkan bahasa, akhlak berarti sifat atau tabiat. Berdasarkan istilah, akhlak berarti kumpulan sifat yang dimiliki oleh seseorang yang melahirkan perbuatan baik dan buruk.
Konsep Akhlak menurut Al-Ghazali adalah sifat yang  tertanam dalam jiwa seseorang, darinya lahir perbuatan yang mudah tanpa pertimbangan pikiran terlebih dahulu. Akhlak meliputi jangkauan yang sangat luas dalam segala aspek kehidupan. Akhlak meliputi hubungan hamba dengan Tuhannya (vertikal) dalam bentuk ritual keagamaan dan berbentuk pergaulan sesama manusia (horizontal) dan juga sifat serta sikap yang terpantul terhadap semua makhluk (alam semesta).
Bagi seorang muslim, akhlak yang terbaik ialah seperti yang terdapat pada diri Nabi Muhammad SAW karena sifat-sifat dan perangai yang terdapat pada dirinya adalah sifat-sifat yang terpuji dan merupakan uswatun hasanah (contoh teladan) terbaik bagi seluruh kaum Muslimin.
Allah Subhana Wa Taalah sendiri memuji akhlak Nabi Muhammad SAW di dalam Al-Quran sebagaimana firman-Nya:  Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berakhlak agung.(Al-Qalam: 4)
Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk berakhlak baik seperti yang terkandung dalam hadis:  Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya.”
Karena begitu pentingnya sebuah akhlak bagi diri mukminin, oleh sebab itu, kami mencoba membahas dalam wacana ini salah satu dari sifat baik yang dimiliki oleh Nabi Muhammad Saw. yaitu sifat “As-Syaja’ah dan At-Taubah”. Kedua sifat ini harus kita tanamkan sejak dini kapada para peserta didik agar generasi Islam tetap memiliki bekal untuk mewujudkan sebuah generasi bangsa yang mencerminkan sebuah akhlak yang baik.



B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan As-Syaja’ah dan At-Taubah ?
2.      Bagaimana membentuk generasi Islam agar memiliki sifat berani dan taubat ?
3.      Bagaimana pengaplikasian dari Sifat Syaja’ah dan Sifat Taubah dalam kehidupan peserta didik ?

C.    Tujuan
-          Memberikan pengetahuan bagi para calon pendidik dalam menerapkan dan mengaplikasikan sebuah sifat berani (Syaja’ah) kedalam jiwa peserta didik serta memberikan jalan pintas bagi pendidik dalam menanamkan sebuah kebiasaan terhadap peserta didik untuk selalu bersifat taubat dalam kehidupannya sehari-hari.























BAB II
PENJELASAN YANG BERSIFAT UMUM

A.    As-Syaja’ah(keberanian)
1.      Pengertian As-Syaja’ah(keberanian)
Secara sederhana, Syaja’ah biasa diartikan keberanian. Bila hendak didefinisikan dengan lebih luas, Syaja’ah dikatakan sebagai kemampuan menundukkan jiwa agar tetap tegar dan teguh serta tetap maju saat berhadapan dengan musuh atau musibah[1]. Syaja’ah atau sifat berani termasuk sebagai fadlilah dalam akhlaq. Syaja’ah bukanlah semata-mata keberanian berkelahi di medan perang, melainkan suatu sikap mental dimana seseorang dapat menguasai jiwanya yang berbuat menurut semestinya. Orang yang dapat menguasainya (jiwanya) pada masa-masa kritis ketika bahaya di ambang pintu, itulah yang berani. “Bukanlah yang dinamakan pemberani orang yang kuat bergulat, sesungguhnya pemberani itu ialah orang yang sanggup menguasai hawa nafsunya di kala marah”. (Muttafaq ‘Alaih).[2]
2.      Macam-macam sifat berani
Ada beberapa sifat berani yang perlu kita aplikasikan kepada para peserta didik di kelas yaitu[3] :
a.       Al-quran telah menjelaskan sikap berani Rasulullah dan para sahabatnya, ketika bahaya penyerangan musuh diamabang pintu. Yaitu dalam surat Ali  Imran: 173-174.
tûïÏ%©!$# tA$s% ãNßgs9 â¨$¨Z9$# ¨bÎ) }¨$¨Z9$# ôs% (#qãèuKy_ öNä3s9 öNèdöqt±÷z$$sù öNèdyŠ#tsù $YZ»yJƒÎ) (#qä9$s%ur $uZç6ó¡ym ª!$# zN÷èÏRur ã@Å2uqø9$# ÇÊÐÌÈ   (#qç7n=s)R$$sù 7pyJ÷èÏZÎ/ z`ÏiB «!$# 9@ôÒsùur öN©9 öNæhó¡|¡ôJtƒ Öäþqß (#qãèt7¨?$#ur tbºuqôÊÍ «!$# 3 ª!$#ur rèŒ @@ôÒsù AOŠÏàtã ÇÊÐÍÈ  
Ayat itu menjelaskan tentang perang badar shugra yang terjadi setahun setelah perang Uhud, Abu Sufyan pemimpin orang qurais menentang nabi dan para sahabat-sahabatnya bahwa dia bersedia bertemu kembali dengan kaum muslimin pada tahun berikutnya di Badr. Tetapi karma tahun itu musim paceklik dan Abu Sufyan sendiri takut, maka dia dan tentaranya tidak jadi meneruskan perjalanan ke Badr, lalu dia menyuruh kepada Nuaim ibn Mas’ud dan kawan-kawan pergi ke madinah untuk menyampaikan bahwa kafir quraisy telah menyiapkan pasukan untuk menyerang Rasulullah, namun demikian nabi dan sahabat-sahabatnya tetap maju ke Badr.
b.      Keberanian itu juga di miliki oleh pahlawan-pahlawan bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan bangsanya, dan memiliki juga oleh pahlawan-pahlawan agama untuk menegakkan syiar dan ajaran agama, sifat Syaja’ah dimiliki pula oleh setiap manusia yang mempunyai cita-cita luhur, seperti perjuangan para alim ulama’ yang membina pendidikan agama, baik disekolah-sekolah, maupun di pesantren, dan cita-cita lainnya untuk kemaslahatan masyarakat dan orang banyak.

c.       Perwujudan sifat Syaja’ah sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas  bisa bermacam-macam, tidak mesti dalam medan pertempuran. Imam Syahid Hasan Al- Banna rahimahullah menyebutkan bahwa Syaja’ah bisa  terwujudkan dalam bentuk-bentuk sebagai berikut :
1)      Ash-Sharahah fil haq (terus terang dalam kebenaran), tidak  plin-plan (sesekali  mengatakan begini dan pada kali lainnya mengatakan begitu).
2)      Kitmanus-sirr (menyebunyikan rahasia, tidak membukanya, apalagi menyebarkanluaskannya). Apapun yang dia hadapi dalam menyimpan rahasia itu, ia tetap mempertahankannya, sepatah pun tidak mengataknnya.
3)      Al I’tiraf bil khatha’ (mengakui kesalahan), tidak lempar batu sembunyi tangan, menutupi kesalahan apalagi mengemasnya dengan kemasan-kemasan kebenaran.
4)      Al Inshaf minan-nafs ( obyektif terhadap diri sendiri), hati boleh panas, telinga boleh merah akan tetapi  akal pikiran tetap jernih dan memilih cara mengekspresikan kemarahannya dalam bentuk yang paling tepat.
3.      Hikmah Keberanian
Perlu diketahui bahwa keberanian yang dimaksud disini bukanlah keberanian membabi buta, melainkan keberanian yang didukung oleh pertimbangan dan fikiran yang sehat. Ada peribahasa mengatakan :”Pemberani mati satu kali tetapi pengecut mati seribu kali”. Hal ini menunjukkan bahwa keberanian itu membuahkan hikmah besar dalam kehidupan manusia. Riwayat hidup orang-orang besar dan mulia dihayati oleh semangat keberanian dalam perjuangan mereka. Mereka tidak akan maju mencapai keutamaan, sekiranya mereka penakut.
Diantara buah dari sifat dan sikap syaja’ah itu adalah sebagai berikut :
a.       Keberanian adalah hiasan pribadi yang mendorong manusia mencapai kemajuan, sebagaimana yang telah dibuktikan oleh orang-orang yang berjasa bagi bangsanya, agamanya dan kemanusiaan
b.      Keberanian menimbulkan ketentraman, sebagaimana halnya sifat pengecut menimbulkan kegelisahan dan keragu-raguan
c.       Keberanian menghilangkan kesulitan dan kepahitan. Perasaan sulit sebenarnya berakar pada rasa takut (cemas). Maka jika keberanian timbul, hilanglah rasa kesulitan. Seorang yang takut menghadapi urusan, begitu sulit dirasakannya. Tetapi jika dia berani menghadapi urusan itu, maka seketika itu hilanglah kesulitannya.
d.      Keberanian membuahkan berbagai kreasi yang produktif atau daya cipta yang berguna. Jika dipelajari riwayat hidup Edison penemu listrik dan Einstein dalam ilmu atom, dapatlah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang berani mencari sesuatu rahasia (misteri) yang terpendam. Dengan kata lain bahwa wajah dunia ini di rubah oleh orang-orang berani.

B.     At-Taubah
1.      Pengertian At-Taubah
Bertobat adalah suatu hal yang wajib kita pahami sebagai calon pendidik. Karena tobat itu sendiri merupakan perbuatan yang berupa memohon ampunan Allah SWT. dengan benar-benar menyesali perbuatannya dan tidak akan mengulangi perbuatan tersebut[4]. Hukum tobat adalah wajib bagi setiap muslim atau muslimat yang sudah mukalaf (balig dan berakal).
Allah SWT berfirman :
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqç/qè? n<Î) «!$# Zpt/öqs? %·nqÝÁ¯R 4Ó|¤tã öNä3š/u br& tÏeÿs3ムöNä3Ytã öNä3Ï?$t«Íhy öNà6n=Åzôãƒur ;....…  M»¨Zy_ ÇÑÈ  
Artinya :  Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah…."(Q.S. At-Tahrim, 66:8)


2.      Macam-macam taubah
Ada beberapa macam tobat yang harus kita jelaskan kepada peserta didik selaku kita sebagai calon pendidik yaitu :
a.       Taubah Nasuha
Taubah Nasuha adalah taubat yang sungguh-sungguh dan taubat ini yang biasanya di ampuni oleh Allah swt.
b.      Taubat sambal
Taubah sambal yaitu taubat yang hanya dilakukan sesaat setelah seseorang mendengar sesuatu yang membuat dia ketakutan. Biasanya orang yang melakukan taubat seperti ini adalah orang yang hanya punya iman tipis. Orang yang melakukan taubat semacam ini biasanya akan melakukan perbuatannya kembali
Sebelum melakukan taubat, hendaknya terlebih dahulu orang melakukan nadam atau menyesal, karena tidak mungkin seseorang akan taubat tanpa menyesal terlabih dahulu. Ada beberapa syarat – syarat melakukan taubat, diantaranya yaitu :
1)      Bertaubah karena dosa kepada Allah SWT[5].
Syarat-syaratnya yaitu :
a)      Menyesali sepenuh hati akan perbuatan maksiat yang pernah dilakukan.
b)      Tidak melakukan perbuatan maksiat.
c)      Berjanji tidak akan mengulang perbuatan maksiat.
d)     Mengikuti dengan perbuatan yang baik. Karena perbuatan baik akan mengahapus keburukan.
2)      Bertaubah karena dosa terhadap sesama manusia.
Syarat-syaratnya yaitu :
a)      Meminta maaf terhadap orang yang telah dizalimi atau dirugikan.
b)      Mengganti kerugia setimbang dengan kerugian yang dialaminya.
3.      Hikmah dari sifat Taubah.
Manfaat taubat yaitu dapat diampuni dosanya oleh Allah swt, dapat mendekatkan diri pada Allah swt, dapat diterima sebagai saudara oleh kaum muslim di dunia dan ciri – ciri seseorang diterima taubatnya yaitu hatinya menjadi tenang setelah melakukan taubat.

BAB III
ISI
A.    Latar Belakang Masalah

Menanamkan sifat As-Syaja’ah dan Taubah dalam kehidupan sehari-hari sama halnya menyalurkan atau mengkontribusikan bagi pengembangan pengetahuan akhlak bagi peserta didik di MI maupun di SD.
Peserta didik yang kritis atau rasa ingin tahunya besar maka ia akan mampu menanyakan hal-hal mengenai proses pembelajaran akhlak yang berkaitan dengan As-Syaja’ah dan sifat Taubah. Selain itu pendidik juga akan memberikan pemecahan masalah untuk mengkontruksi proses pembelajaran dengan cara memberikan masukan dan pengetahuan tentang As-syaja’ah dan Taubah. Pendidik juga akan mengidentifikasikan gejala-gejala yang terdapat pada manusia untuk menanamkan keberanian atau Syaja’ah dalam dirinya. Karena dalam diri setiap manusia pasti terdapat sifat yang mengajak untuk berani bersikap, berani melawan ketakutan dan berani melawan hawa nafsu untuk mendapatkan kemuliaan diri dihadapan Allah SWT.
Dalam BAB ini akan dibahas bagaimana cara menanamkan sifat As-Syaja’ah dalam diri setiap manusia dan membiasakan berperilaku Taubah dalam kehidupan sehari-hari.

B.     Menanaman Sifat As-Syaja’ah Pada Diri peserta didik dan Membiasakan Berperilaku Taubah Pada Kehidupan Sehari-hari.

1)      Penanaman Sifat As-Syaja’ah
Seseorang yang mampu menanamkan sifat As-Syaja’ah atau keberanian dalam hatinya, maka ia dapat memuliakan diri kearah sifat yang tinggi/ terpuji. Selain itu ia juga dapat menahan perasaan atau menekan hawa nafsu angkara dan menjaga kesucian diri dari perbuatan tercela. Sifat As-Syaja’ah seperti ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang kepada Allah Swt, hari akhir, malaikat, nabi atau Rasul dan kepada Qadha’ dan Qadar Allah Swt.
Keberanian dapat muncul karena dua hal: Pertama karena fitrahnya yang sudah memiliki jiwa berani. Kedua karena sering dilatih dan dipupuk dalam diri sehingga nantinya akan tumbuh melalui tindakan, perkataan dan tulisan yang berani.
Rahasia keberanian terletak pada kesanggupan mengendalikan diri dari mental  tetapi stabil dalam cuaca bagaimanapun dan tetap tenang menghadapi segala sesuatu dalam keadaan darurat. Al-Qur’an mengungkapkan sifat berani, Rasulullah Saw dan para sahabat ketika bahaya penyerangan musuh diambang pintu dalam Q.S Al-Imran:173-174.
tûïÏ%©!$# tA$s% ãNßgs9 â¨$¨Z9$# ¨bÎ) }¨$¨Z9$# ôs% (#qãèuKy_ öNä3s9 öNèdöqt±÷z$$sù öNèdyŠ#tsù $YZ»yJƒÎ) (#qä9$s%ur $uZç6ó¡ym ª!$# zN÷èÏRur ã@Å2uqø9$# ÇÊÐÌÈ   (#qç7n=s)R$$sù 7pyJ÷èÏZÎ/ z`ÏiB «!$# 9@ôÒsùur öN©9 öNæhó¡|¡ôJtƒ Öäþqß (#qãèt7¨?$#ur tbºuqôÊÍ «!$# 3 ª!$#ur rèŒ @@ôÒsù AOŠÏàtã ÇÊÐÍÈ  
Artinya:
173 : (Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung."
174 : “Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.
Maksudnya: orang Quraisy.
Ayat 173, dan 174, di atas membicarakan tentang Peristiwa perang Badar Shughra (Badar kecil) yang terjadi setahun sesudah perang Uhud. Sewaktu meninggalkan perang Uhud itu, Abu Sufyan pemimpin orang Quraisy menantang Nabi dan sahabat-sahabat beliau. Bahwa Dia bersedia bertemu kembali dengan kaum muslimin pada tahun berikutnya di Badar. tetapi karena tahun itu (4 H) musim paceklik dan Abu Sufyan sendiri waktu itu merasa takut, Maka Dia beserta tentaranya tidak Jadi meneruskan perjalanan ke Badar, lalu Dia menyuruh Nu'aim Ibnu Mas'ud dan kawan-kawan pergi ke Madinah untuk menakut-nakuti kaum muslimin dengan menyebarkan kabar bohong, seperti yang disebut dalam ayat 173. Namun demikian Nabi beserta sahabat-sahabat tetap maju ke Badar. oleh karena tidak terjadi perang, dan pada waktu itu di Badar kebetulan musim pasar, Maka kaum muslimin melakukan perdagangan dan memperoleh laba yang besar. Keuntungan ini mereka bawa pulang ke Madinah seperti yang tersebut pada ayat 174.
Bukti keberanian Nabi dan para sahabat Nampak jelas, ketika mereka digertak oleh pihak lawan untuk dibinasakan. Dalam keadaan genting itu, mereka tunjukkan ketenangannya dan sebagai buah dari syaja’ahnya, mereka gondola piala kemenangan gilang gemilang. Jika kita berbicara tentang keberanian Rasulullah sebagai uswatun hasanah, terdapat banyak contoh yang menjadi bukti syaja’ahnya. Beliau tidak dapat digertak dan ditakut-takuti, karena yang ditakutinya hanyalah Allah. Sahabat-sahabat Nabi sama mengakui bahwa tiada manusia yang lebih berani dari Rasulullah SAW yang berkali-kali diuji dalam keadaan gawat dan genting, namun belum pernah menunjukkan rasa takut dan cemas. Memang itulah identitas pembawa amanah Allah, sebagaimana dalam QS. Al-Ahzab (33): 39.
Yaitu: orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan.
Contoh-contoh keberanian:
Seperti diuraikan tadi, maka sifat berani bukan hanya ditunjukkan dalam medan perang, melainkan banyak perbuatan sehari-hari yang membutuhkan keberanian yang tidak kurang dari keberanian tentara di medan perang, misalnya :
a.    Para pelaut yang mengarungi samudra dan tidak takut menghadapi topan dan badai di lautan
b.    Para petugas pemadam kebakaran yang melaksanakan tugasnya dengan tabah ketika api sedang mengamuk
c.    Dokter dan juru rawat yang tenang menghadapi pasien yang gawat
d.   Para pemimpin yang berani mengambil keputusan penting dimana perlu
e.    Para mubaligh yang berani mengemukakan yang benar itu benar, dan yang salah itu salah
f.     Para sarjana yang berani mengemukakan ide-ide baru dari hasil daya cipta dan ijtihadnya
Dan banyak lagi contoh-contoh lain yang menunjukkan bahwa sifat-sifat syaja’ah itu meliputi segala macam medan dan medan dimana Allah menentukan bagi seseorang menjadi profesinya.

Kemudian dalam mengidentifikasi gejala yang muncul dalam diri manusia untuk menanamkan sifat keberanian atau As-Syaja’ah yaitu:
1)      Tetapnya fikiran dan menstabilkan perasaan ketika bahaya datang.
2)      Tetap melakukan pekerjaan dengan hati yang teguh dan akal yang waras
3)      Tidak gentar dari segala ancaman dan celaan sebagai konsekuensi atau resiko dalam setiap tindakan
Untuk mengobati penyakit takut atau menanamkan sifat keberanian dalam diri ada beberapa hal yang perlu diketahui, yaitu:
1)      Salah satu sumber ketakutan adalah kebodohan. Maka obatnya adalah dengan menghilangkan kebodohan itu. Misalnya seseorang takut pada suatu bayangan dimalam hari yang gelap sehingga menjadi gemetar. Setelah diketahui itu hanyalah batu biasa maka hilanglah ketakutan itu.
2)      Sumber ketakutan lainnya adalah ketidak biasaan. Contohnya seorang yang takut naik perahu, karena tidak biasa dengan keadaan diatas perahu. Maka ia takut jatuh dan tenggelam. Oleh sebab itu ia harus membiasakan melakukan suatu perbuatan itu.
3)      Obat takut yaiu ikhtiar memperkecil kesulitan yang digambarkannya.
4)      Obat takut bagi orang yang beriman yaitu tawakal, penyerahan diri kepada Allah Swt. Dan berikhtiar semaksimal mungkin.

2)      Membiasakan Diri Berperilaku Taubah

Orang yang mampu membiasakan diri untuk berperilaku Taubah, maka akan diampuni dosa dan kesalahannya dan akan dimasukkan dalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai.
Seseorang yang melakukan perbuatan dosa akan terhalang oleh perbuatannya dalam berhubungan dengan Allah Swt. Ia jauh dari dari Allah zat yang maha pengasih, seseorang yang jauh dari Allah kemungkinan besar tidak akan mendapat rahmat dari Allah Swt.
Tobat yang diperintahkan oleh Allah Swt kepada manusia adalah tobat nasuha, yaitu tobat yang semurni-murninya. Nasuha juga dapat diartikan murni semata-mata karena Allah Swt. Tanpa hal-hal yang mengotorinya.
Tobat nasuha merupakan tobat yang diperintahkan oleh Allah swt. Tidak hanya sekedar diucapkan di lidah, tetapi diwujudkan dengan perbuatan. Tobat juga bukan merupakan permohonan ampun melalui orang lain. Ada dua kesalahan pemahaman tentang tobat yang terjadi ditengah masyarakat. Pertama, tobat melalui perantara orang lain. Tobat dalam islam merupakan persoalan pribadi antara manusia dengan Allah swt. Kedua, bahwa tobat hanya perkataan di lidah. Tobat tidak hanya dilidah tetapi diwujudkan dalam perkataan.

Contoh perilaku bertoubat, yaitu:
1)      Seorang yang melakukan dosa, seperti menggunjing orang lain disebuah acara arisan atau sebuah pesta. Seorang muslim yang taat maka ia pasti akan segera menyadari perbuatannya. Kemudia meminta maaf kepada orang yang digunjingnya dan memohon ampun kepada Allah swt.
2)      Seorang yang melakukan perbuatan mencuri, setelah tertangkap lalu dihukum atau diadili oleh masyarakat maka ia sadar dan mau mengakui kesalahannya dan tidak akan mengulanginya lagi.
Orang yang melakukan tobat yaitu orang yang benar-benar sadar akan kesalahannya dan tidak berperilaku yang menimbulkan dosa lagi.
Ada beberapa tahap atau pemecahan masalah bagi orang yang telah berbuat dosa dan akan bertobat, yaitu:
a.       Menyesal dalam hati
Menyesal dalam hati merupakan tahapan pertama tobat. Penyesalan dalam  hati berkaitan dengan tobat diartikan dengan perasaan, emosi dan gerak hati yang berbentuk penyesalan hati manusia atas perbuatan dosa yang dilakukan terhadap Allah swt. Sesame makhluk dan diri sendiri.
b.       Memohon ampun dengan lisan
Tahap kedua dalam bertobat kepada Allah swt adalah memohon ampun dengan lisan. Memohon ampun kepada Allah atas perbuatan dosa yang dilakukannya dapat dilakukan dengan cara membaca istighfar, masih banyak bacaan lain yang dapat dipergunakan untuk memohon ampun selain istighfar. tetapi dapat juga membaca bacaan lain seperti rabbana zalamna anfusana wainlam tagfirlana watarhamna lanakunnanna minalkhosirin atau la illaha illa anta subhanaka inni kuntu minaz-zalimin. Tidak sulit memohon ampun dengan lisan kepada Allah swt. Jika tidak mampu menggunakan bahasa arab dapat pula menggunakan bahasa lain yang dipahami. Sungguh, islam adalah agama yang memberi kemudahan kepada penganutnya.



c.       Berjanji untuk tidak melakukan dosa lagi.
Berjanji untuk tidak melakukan dosa lagi merupakan tahapan terakhir dalam bertobat. Tahapan ketiga ini merupakan tahapan yang paling berat dan sulit. Tahapan ini memerlukan tindakan yang nyata.
Perbanyaklah berbuat baik dan beramal shaleh. Bersedekah, membantu sesama yang membutuhkan serta menyantuni anak yatim, mengasihi orang miskin. Tindakan tersebut dilakukan untuk mengubah perilaku dari perbuatan maksiat pada perbuatan baik yang diridhai Allah swt.

C.    Manifestasi dari dalam diri peserta didik
Beberapa manifestasi peserta didik pada kehidupan sehari-hari, yaitu :
1.      Seorang peserta didik yang berani melawan hawa nafsu dalam kemaksiatan. Demi mendapat kemuliaan diri dihadapan Allah swt. Maka ia pasti akan mampu menahan syahwatnya. Dan tidak mau melakukan dosa kepada dirinya sendiri dan dihadapan Allah swt. As-Syaja’ah artinya keberanian.  Berani karena sering dilatih dan dipupuk dalam diri sehingga nantinya akan tumbuh melalui tindakan, perkataan dan tulisan yang berani. Peserta didik yang mampu menanamkan dalam dirinya untuk  berani melawan hawa nafsu yang membuatnya masuk kelembah dosa  maka ia akan dimuliakan dihadapan Allah swt.
2.      Seorang peserta didik yang bertobat dan menyadari kesalahannya saat melakukan maksiat adalah peserta didik yang taat kepada Allah swt. Seorang yang membiasakan perilaku tobat dalam hidupnya, maka akan dimudahkan jalan menuju ampunan Allah swt. Menahan diri dari syahwatnya sama halnya ia telah membayar ibadah-ibadah yang ditinggalkannya.

D.    Hubungan sifat As-Syaja’ah dan Taubah      
a.  sama-sama merupakan sifat terpuji dan harus diterapkan atau ditanamkan dalam hati dan diri pesertadidik.
     Contohnya: seorang yang berani melawan hawa nafsu atau syahwat dalam dirinya, maka ia pasti sudah menanamkan perilaku As-Syaja’ah dan otomatis sudah membiasakan dirinya untuk selalu berprilaku tobat juga. Pasa saat ia melakukan sebuah dosa atau kesalahan maka ia sebagai seorang mukmin yang taat pasti sadar untuk bertobat, tidak akan mau melakukannya kembali. Demi untuk mendapatkan kemuliaan diri dihadapan Allah swt.
b.    Dalam sifat As-Syaja’ah dapat diartikan sebagai keberanian, berani dalam arti memerangi keburukan, kemaksiatan, ketakutan dan lain-lain. Orang yang berani melakukan hal-hal yang baik maka ia pasti berani melakukan tobat setelah melakukan dosa atau kesalahan demi untuk mendapatkan ridha dan rahmat dari Allah swt.
























BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Dari berbagai penjelasan mengenai Syaja’ah dan taubah diatas, kami mencoba menarik kesimpulan bahwa :
1.      Pengertian dari Syaja’ah dan At-Taubah, yaitu :
a.       Syaja’ah biasa diartikan berani. Bila hendak didefinisikan dengan lebih luas, Syaja’ah dikatakan sebagai kemampuan menundukkan jiwa agar tetap tegar dan teguh serta tetap maju saat berhadapan dengan musuh atau musibah[6]. Syaja’ah atau sifat berani termasuk sebagai fadlilah dalam akhlaq. Syaja’ah bukanlah semata-mata keberanian berkelahi di medan perang, melainkan suatu sikap mental dimana seseorang dapat menguasai jiwanya yang berbuat menurut semestinya. Orang yang dapat menguasainya (jiwanya) pada masa-masa kritis ketika bahaya di ambang pintu, itulah yang berani. “Bukanlah yang dinamakan pemberani orang yang kuat bergulat, sesungguhnya pemberani itu ialah orang yang sanggup menguasai hawa nafsunya di kala marah”. (Muttafaq ‘Alaih).
b.      Bertobat adalah suatu hal yang wajib kita pahami sebagai calon pendidik. Karena tobat itu sendiri merupakan perbuatan yang berupa memohon ampunan Allah SWT. dengan benar-benar menyesali perbuatannya dan tidak akan mengulangi perbuatan tersebut[7]. Hukum tobat adalah wajib bagi setiap muslim atau muslimat yang sudah mukalaf (balig dan berakal).
2.      Cara kita sebagai calon pendidik dalam menanamkan sebuah sifat keberanian dan selalu tertanam sebuah  sifat taubat dalam diri peserta didik yaitu :
a.       Selalu mencontohkan bahwa ketika kita memiliki sebuah sifat keberanian dalam hati, seperti berani manahan hawa nafsu, berani menahan amarah, berani melawan semua musuh-musuh dan lain sebagainya. Sifat keberanian itu akan membawa kita kedalam sebuah kemulian yang tinggi.
b.      Selalu memberi tauladan yang baik kepada para peserta didik. Dengan tauladan lah cara yang paling efektif dalam kita membimbing dan menanamkan sebuah akhlak baik pada jiwa peserta didik. Karena di usia dini para peserta didik lebih terkonsentrasi hati dan fikirannya terhadap hal-hal yang dilihatnya.
c.       Selalu memberi nasehati kepada peserta didik untuk membiasakan diri berperilaku taubah. Karena tidak ada seorangpun di dunia ini yang sempurna. Semua orang pasti memilki sebuah dosa dan kesalahan, baik kesalahan yang di sengaja maupun tidak di sengaja. Oleh karena itu, kita sebagai hambah Allah SWT. harus lah selalu bertaubah agar tetap selalu berada di jalan Allah SWT. Karena Allah menyukai orang-orang yang bertaubat.
3.      Cara kita sebagai calon pendidik dalam mengaplikasikan sebuah sifat keberanian dan selalu memiliki sifat taubat dalam kehidupan sehari-hari yaitu dengan memberi tauladan yang baik, memberi contoh perbuatan tersebut, memberikan dampak positif apabila kita memiliki sifat tersebut dan memberikan gambaran akibat dari kita apabila tidak memiliki sebuah sifat keberanian dan rasa untuk selalu bertaubat di jalan Allah SWT.















DAFTAR PUSTAKA
Moh. Syamsi, Drs, Abu Farhad, S. Sa’adah. 2004. RPAI (Rangkuman Pengetahuan Agama Islam). Surabaya: AmeLIA.
Syamsuri, H, Drs. 2007. Pendidikan Agama Islam SMA Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Basori, Khabib dan Nur Khoiri Umatin. 2009. PR “Pendidikan Agama Islam Untuk SMA”. Klaten: PT. Intan Pariwara.
http ://www.ensiklopedia.com





[1] www.ensliklopedia.com
[2] Drs. Moh. Syamsi, Abu Farhad, S. Sa’adah, RPAI (Rangkuman Pengetahuan Agama Islam), AmeLIA Surabaya, 2004, hlm. 119.
[3] http://As-Syaja’ah.html
[4] Drs. H. Syamsuri, Pendidikan Agama Islam SMA Jilid 2, Erlangga,  Jakarta, 2007, Hlm. 39.
[5] Drs. H. Syamsuri, Pendidikan Agam Islam SMA Jilid 2, Erlangga,  Jakarta, 2007, Hlm. 39.
[6] www.ensliklopedia.com
[7] Drs. H. Syamsuri, Pendidikan Agama Islam SMA Jilid 2, Erlangga,  Jakarta, 2007, Hlm. 39.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar